Teknologi Digital Bantu Ritel Tradisional dan UKM Bangkit

marketeers article
Asian Indonesian women in front of small local family-owned business store, locally called warung. Location is in Tasikmalaya, Indonesia. Selective Focus.

Pasar ritel dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) di Indonesia memiliki peluang yang luas untuk berkembang, salah satunya dengan menggunakan teknologi digital. Namun demikian, banyak dari mereka yang belum bisa bertransformasi digital. Inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis untuk membuat sebuah inovasi dalam rangka membantu memberdayakan pasar ritel dan UMKM.

Bayu Saubig, melihat peluang tersebut dan meluncurkan Tumbasin.id.  Platform ini memiliki misi untuk memberdayakan pasar, khususnya pasar basah seperti penjual sayur. Menurut Bayu, banyak dari penjual tersebut yang belum tersentuh oleh teknologi.

Bayu mengatakan bahwa Tumbasin hadir untuk membantu meningkatkan penjualan para pedagang basah, serta membantu mereka mendapatkan program yang lebih bagus. Selain itu, dengan adanya Tumbasin, mereka juga dapat memutus mata rantai perhutangan mereka dengan orang-orang yang merajalela di pasar tradisional.

Awal mula berdiri, Tumbasin hanya melayani pemesanan melalui WhatsApp dan media sosial. Pada tahun 2019, Tumbasin membuat aplikasi. Memasuki tahun 2020, saat pandemi COVID-19  muncul di Indonesia,  merupakan momentum untuk Tumbasin.

“Kami awalnya hanya buka pemesanan lewat media sosial yang ada saja. Belum terlalu banyak juga yang memakai jasa kami. Pada akhirnya saat pandemi mulai banyak orang yang menggunakan Tumbasin untuk memenuhi kebutuhan dapur mereka,” kata Founder & CEO Tumbasin.id dalam acara DSC 12 Webinar #12 yang bertajuk Exploring Immense Opportunities in Indonesia’s Retail Market and SMEs.

Bayu mengungkapkan bahwa fokus utama Tumbasin adalah masyarakat yang berada di kota menengah. Ia memilih untuk memasarkan Tumbasin di kota yang tingkat ekonominya mulai tinggi dan penetrasi internetnya mulai meningkat.

“Tujuan kami adalah kota-kota sekunder yang tingkat ekonominya mulai meningkat. Ini yang menjadi fokus kita. Karena minat orang-orang belanja ke pasar juga masih banyak di kota-kota tersebut. Pertimbangannya lebih ke strategi sebenarnya karena kit ajug amelihat di kota-kota besar sudah banyak layanan seperti kami,” ungkap Bayu.

Bayu turut mengatakan bahwa ia bisa mengembangkan bisnis dan mengetahui teknik digital marketing setelah mengikuti DSC pada tahun 2018 lalu. Melalui DSC, Bayu mendapatkan banyak insight untuk mengembangkan bisnisnya.

“Sejak masuk DSC, kami jadi lebih mengenal customer. Kami jadi tahu strategi untuk menyikapi customer. Kami juga jadi tahu digital marketing. Misalanya, karena main ke ritel banyak yang bisa strategi marketing yang bisa digunakan, seperti digital campaign, telemarketing, dan lainnya. Insight itu yang bermanfaat sekali untuk saya sebagai pengusaha pemula,” jelas Bayu.

Sama halnya dengan Bayu, Derry Sakti, Founder & CCO Ula App memiliki tujuan yang sama, yaitu membantu UKM, khususnya ritel tradisional. Ula merupakan busines to business (B2B) e-commerce yang fokus pada masalah-masalah sederhana yang dihadapi para pedagang ritel, antara lain pasokan barang yang cepat, lengkap dan konsisten, bantuan mengenai tambahan modal, pengaturan kas, dan bagaimana mereka bisa mengembangkan usahanya menjadi lebih luas.

Derry mengatakan bahwa Indonesia memiliki pasar ritel yang sangat luar biasa. Setiap tahunnya, Indonesia dapat menghasilkan US$300 miliar, yang mana 70%-nya dari pengecer tradisional, seperti pasar, toko pakaian pinggiran, dan sebagainya. Itu berarti, UKM atau ritel tradisional menjadi penompang perekonomian Indonesia.

“Kami melihat ritel tradisional ini bisa menjadi penompang perekonomian Indonesia karena mereka bukan hanya sekedar bisnis. Mereka punya nilai dan hubungan dengan pelanggan yang erat. Selain itu, bisnis ritel tradisional menjamur di mana-mana. Hampir di setiap pemukiman ada warung,” kata Derry.

Namun demikian, menurut Derry, mereka menghadapi berbagai tantangan dalamm menjalankan bisnisnya. Tantangan tersebut antara lain pasokan barang yang tidak efisien, masalah logistik, pilihan SKU yang terbatas, visibilitas harga yang rendah, modal kerja yang terbatas, penurunan pendapatan, serta ketidakpastian terhadap permintaan barang. Ini yang membuat Derry akhirnya meluncurkan aplikasi ULA.

“Di era ini, semua tantangan itu sebenarnya basic. Melalui teknologi, kita ingin mencoba untuk menyelesaikan masalah mereka. Kami meluncurkan aplikasi ULA. Mungkin aplikasinya terlihat sederhana, tapi memang itu tujuan kita agar bisa dipakai oleh semua ritel tradisional,” jelas Derry.

Derry mengatakan bahwa dengan adanya bantuan  ULA, para pedagang bisa memesan barang kapan saja, dan di mana saja, tanpa harus keluar rumah. Apalagi, di saat situasi seperti ini. Menurut Derry, dalam hal digitalisasi, pasti akan memberikan dampak positif bagi semua ritel tradisional maupun UMKM.

“Dengan adanya teknologi kami, para ritel tradisional tidak perlu takut untuk menutup toko, mengeluarkan lebih banyak uang untuk kendaraan dalam membeli barang. Pada akhirnya, harapannya mereka tidak akan mengalami opportunity lost dan di sisi lain, pendapatan mereka bisa meningkat,” tutup Derry.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

Related