CIPS: Kebijakan Proteksionis Hambat Perdagangan Internasional RI

marketeers article
CIPS: Kebijakan Proteksionis Hambat Perdagangan Internasional RI (FOTO: 123RF)

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai Indonesia perlu meninggalkan kebijakan proteksionis untuk meningkatkan kinerja perdagangan internasionalnya. Salah satu contohnya adalah menggunakan impor untuk memastikan kualitas produk Indonesia dapat bersaing di pasar internasional.

“Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing produknya supaya dapat bersaing di pasar internasional. Peningkatan daya saing membutuhkan upaya untuk menciptakan kualitas produk yang memenuhi standar internasional dan mampu bersaing secara harga,” kata Peneliti CIPS Hasran dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/12/2022).

Ia melanjutkan peningkatan daya saing sangat diperlukan untuk membuka pasar bagi produk Indonesia. Menciptakan produk berkualitas dengan harga terjangkau sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan, dan banyak dari bahan baku tersebut hanya dapat dipenuhi melalui impor.

Selain itu, kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga dapat mempersulit integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global. Kebijakan yang dapat ditemukan di hampir semua industri ini membatasi pelaku industri untuk memperoleh komponen-komponen produksi dari luar negeri yang relatif lebih murah.

BACA JUGA: Impor Oktober 2022 US$ 19,13 Miliar, Neraca Perdagangan RI Surplus

Walaupun kebijakan TKDN merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada perusahaan lokal, namun regulasi ini berpotensi menghilangkan kompetisi yang sehat dalam industri. Terakhir, TKDN juga merupakan klausul yang ditentang dalam perjanjian dagang RCEP yang mana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya.

“Untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, industri perlu diberikan keleluasaan dalam mendapatkan bahan baku berkualitas. Pada akhirnya impor yang kita lakukan itu bertujuan untuk memberikan nilai tambah, bukan semata dikonsumsi secara langsung,” ujar Hasran.

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Secara volume, tidak terjadi peningkatan yang signifikan. 

Namun, secara nilai, ekspor indonesia meningkat tajam ke dunia internasional. Peningkatan ekspor ini disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas, seperti nikel, batubara dan CPO di pasar global. 

Pada akhir tahun 2022, harga komoditas-komoditas ini akan turun dan akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. Indonesia sejak dulu hingga sekarang memang lebih banyak mengekspor sumber daya alam (komoditas) dibanding produk-produk jadi yang memiliki nilai tambah atau value added yang tinggi.

BACA JUGA: CIPS: Harga Beras Domestik Naik, Beras Impor Jadi ‘Pereda’ Harga

Untuk itu, Indonesia perlu segera beralih dari mengandalkan komoditas tambang sebagai andalan ekspornya. Di tengah krisis iklim dan kebutuhan akan produk yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi, meningkatkan value added pada produksi dalam negeri merupakan satu hal yang dapat dilakukan untuk membuka pasar untuk produk Indonesia.

Ekspor sumber daya alam sangat rentan terhadap global shock dibanding produk jadi bernilai tinggi. Ekspor produk jadi juga akan lebih banyak membuka kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan dibanding ekspor sumber daya alam (komoditas).

Editor: Ranto Rajagukguk

Related