Menjawab Tantangan Komunikasi Publik di Era Normal Baru

marketeers article
Presenter at business meeting or convention

Memasuki era normal baru, lanskap komunikasi turut dihadapi dengan tantangan baru. Perkara hoaks, perubahan perilaku audiens, hingga persaingan untuk memperoleh atensi menjadi kian kompleks. Para pegiat komunikasi publik, maupun private sector di bidang Hubungan Masyarakat (humas) pun perlu berbenah diri.

Agung Laksamana, Ketua Umum Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) mengibaratkan komunikasi saat ini seperti lari maraton. Komunikasi bukan seperti lari sprint yang harus memiliki end result.

“Kita (humas) cenderung menganggap pekerjaan kita sudah selesai ketika pesan dari komunikasi publik telah disampaikan. Padahal, end goal dari semua komunikasi publik adalah perubahan persepsi (behavior and attitude). Media pada akhirnya bukan hanya menjadi saluran untuk menyampaikan konten tersebut,” terang Agung Laksamana dalam webinar Government Roundtable Series COVID-19: New, Next, Post episode pertama bertajuk Komunikasi Publik di Era Digital yang digelar MarkPlus, Inc., Senin (15/06/2020).

Apalagi, ada begitu banyak disrupsi yang saat ini terjadi. Dewan Pers mencatat, 79% dari 47 ribu media di Indonesia merupakan media abal-abal. Hal ini kian mempersulit kita untuk mensosialisasikan konten positif.

Selain harus menyiapkan narasi bernada positif, para praktisi humas pun masih harus bersaing untuk mendapatkan atensi dari target audiens di era digital ini. Pasalnya, Agung mengatakan, dalam satu jam saja ada 1,3 juta konten yang diunggah. Belum lagi berbagai pesan yang disebarkan melalui ruang-ruang obrolan, seperti WhatsApp.

Para pelaku humas harus menyadari jika lanskap komunikasi telah berubah. Era komunikasi publik saat ini tidak lagi bersifat top-down. Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat mendorong transpartasi sehingga publik lebih menuntut kejujuran.

“Ekosistem komunikasi tidak lagi bersifat one way. Asal konten, sumber, kredibilitas, dan engagement menjadi tantangan tersendiri. Jumlah view, retweet, dan like tidak menjadi ukuran jika pesan tersebut tidak mengubah persepsi publik terhadap suatu kebijakan publik itu berarti pekerjaan kita belum selesai,” tutur Agung.

Era normal baru juga telah membentuk publik menjadi lebih adaptif terhadap media digital. Namun, hal ini turut membawa tantangan tersendiri. Publik kerap salah kaprah menilai media sosial, seperti Facebook atau Instagram sama dengan media pemberitaan (pers).

Di sisi lain, speed menjadi kata kunci untuk beradaptasi di era normal baru. Menurut Agung, mengirimkan press release kepada jurnalis melalui WhatsApp pun kini menjadi kebiasan baru lantaran lebih cepat dan efisien.

“Kuncinya, humas harus mengadopsi era normalisasi yang baru ini. Ia harus beradaptasi dengan cara-cara baru, lanskap baru, dan strategi yang baru. Humas harus mahir dan cakap dengan situasi saat ini,” ujar Agung.

Related