Teknologi untuk Manusia, Bukan Manusia untuk Teknologi

marketeers article

Elon Musk, bos Tesla dan perusahaan teknologi antariksa SpaceX, empat tahun silam pernah memperingatkan bahwa bila tidak dikontrol, mesin dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) bisa mampu menjadi diktator di masa depan, bahkan sebagai diktator abadi.

Dalam sebuah film dokumenter garapan sutradara Amerika Chris Paine, Musk mengatakan pengembangan superintelijen oleh perusahaan maupun organisasi bisa menghasilkan bentuk AI yang mengatur dunia.

Kekhawatiran semacam itu sudah muncul di banyak film beraliran distopia yang mengisahkan kekuatan dominan robot untuk melawan atau memperbudak manusia. Plot yang diambil film-film distopia ini hampir selalu tragis, dari manusia menciptakan robot yang awalnya dicita-citakan untuk mendukung hidup manusia berlanjut dengan pembelotan robot melawan manusia yang malah membawa kehancuran. Sebut saja film I, Robot (2004) dibintangi oleh Will Smith dan Mother/Android (2021) dibintangi Chloë Grace Moretz yang sedang tayang di Netflix.

Apakah kekhawatiran Musk tersebut berlebihan? Jawabannya, kekhawatiran itu sah-sah saja. Yang jelas sampai hari ini kekhawatiran tersebut belum terbukti. Bahkan, prediksi akan datangnya era teknologi singularitas atau masa di mana kecerdasan buatan berkembang jauh melampaui kecerdasan manusia dan akan mengubah peradaban manusia juga belum terwujud. Singularitas masih menjadi debat panjang dalam dua dekade terakhir.

Teknologi Itu Sarana, Bukan Tujuan

Rasanya kita perlu menjernihkan kembali posisi teknologi dalam kehidupan manusia. Yuval Noah Harari, penulis Homo Deus dan Sapiens: A Brief History of Humankind, memiliki kekhawatiran senada dengan Musk. Namun, dalam sebuah perbincangan media pada tahun 2015, Harari memberi prespektif yang lebih optimistis.

Ia mengungkapkan juga keprihatinannya pada pemikiran ilmiah dan teknologi terkemuka, mulai dari Stephen Hawking dan Bill Gates, bahwa kecerdasan buatan berpotensi menimbulkan risiko bagi umat manusia. Oleh karena itu, perlu lembaga global yang lebih kuat untuk mengatasi ancaman eksistensial semacam ini.

“Kuncinya adalah membuat teknologi melayani kita, bukan kita melayani teknologi,” tegas Harari.

Pernyataan Harari bahwa teknologi untuk melayani manusia itu menyiratkan hakikat teknologi sebagai sarana dan bukan tujuan. Manusia menciptakan teknologi ponsel pintar, chatbot, pesawat, sepeda, maupun AI sebagai sarana untuk mencapai tujuan manusia. Demikian juga di masa prasejarah, manusia menciptakan kapak, tombak, panah, juga untuk tujuan tertentu. Tujuannya apa? Memudahkan manusia menjalani kehidupannya.

Sayangnya, hakikat tersebut sering terbalik-balik di masa sekarang. Teknologi yang harusnya menjadi sarana manusia justru dijadikan tujuan. Sebagai sarana, harusnya manusia memiliki otonomi kuat mengatur teknologi dan bukan teknologi yang mengatur manusia. Contoh paling sederhana adalah ponsel pintar. Berapa dari kita yang merasa hidupnya justru distir atau malah ‘diperbudak’ oleh benda pintar sebesar tempe mendoan ini?

Di bisnis juga sama. Berapa banyak perusahaan yang latah berinvestasi dengan membakar uang untuk transformasi digital atau digital marketing atau mengadopsi teknologi tertentu tanpa memperhatikan tujuan atau alasan jelas perusahaan tersebut.

Yang penting asal digital, memiliki website dan aplikasi, punya akun media sosial, maupun investasi di teknologi, sudah merasa telah melakukan transformasi digital. Tanpa tujuan jelas dan indikator untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Akibatnya, banyak perusahaan merasa sudah lama melakukan transformasi digital tapi malah merugi atau tidak merasakan dampak apa-apa.

Seharusnya perusahaan menentukan tujuannya dulu apa dan baru kemudian memilih sarana-sarana yang tepat dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini, teknologi berperan sebagai sarana. Secanggih apa pun teknologi, kalau tidak cocok dipakai sebagai sarana yang tepat untuk mencapai tujuan perusahaan, tidak usah digunakan karena hanya akan buang-buang duit saja. Pilihlah teknologi yang tepat dan yang lebih mengantar perusahaan mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan. Jadi, sebaiknya kita selalu memosisikan teknologi sebagai sarana mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Tujuan untuk apa?

Technology for Humanity

Disposisi teknologi dan manusia nampak jelas dalam buku Marketing 5.0: Technology for Humanity (Wiley, 2021). Teknologi posisinya sebagai sarana. Sarana, dalam bahasa Harari, sebagai alat untuk mencapai tujuan, yakni melayani manusia. Persis seperti dinyatakan penulis buku Marketing 5.0 yang mengatakan “We agree that technology should be leveraged for the good humanity – teknologi harus dimanfaatkan untuk kebaikan umat manusia.” (hlm.5)

Marketing 5.0 secara umum mengacu pada penerapan teknologi-teknologi maju untuk menciptakan, mengomunikasikan, mengantarkan, dan memperkuat nilai di seluruh perjalanan pelanggan (customer journey). Teknologi-teknologi maju tersebut, yang disebut dengan Next Tech, antara lain AI, natural language processing (NLP), teknologi sensor, robotik, AR dan VR, dan IoT maupun Blockchain. Semua teknologi tersebut sejatinya merupakan replikasi dari kemampuan dan kebutuhan manusia (Baca: Relasi Intim Manusia dan Mesin). Tujuannya untuk menciptakan pengalaman baru pelanggan (New CX) dengan cara mengolaborasikan kemampuan manusia dan mesin.

Marketing 5.0 sebenarnya merupakan perpaduan elemen human centricity dari Marketing 3.0 yang mana pelanggan diperlakukan sebagai manusia seutuhnya yang memiliki hati, budi, dan spirit serta elemen teknologi pemberdayaan dari Marketing 4.0.

Kembali ke kegelisahan Elon Musk di awal tulisan ini, sebenarnya tak perlu takut berlebihan terhadap teknologi sepintar apa pun mengingat eksistensinya sebagai sarana untuk tujuan-tujuan manusia. Yang pegang kendali tetaplah manusia. Teknologi tidaklah buruk. Baik buruk itu tergantung jatuh di tangan siapa teknologi itu. Di tangan orang baik, teknologi bisa digunakan merawat dan mengembangkan kehidupan (tech for good). Di tangan teroris, teknologi bisa dipakai untuk menghancurkan kehidupan (tech for bad).

Mungkin oleh karena alasan tadi, buku Marketing 5.0 ditambahi judul technology for humanity dan bukan sebaliknya humanity for technology. Betul demikian?

Related