Tips Membangun CX yang Tepat Demi Membentuk Kebiasaan Pelanggan

marketeers article
CX yang baik bisa menjadi kebiasaan pelanggan | sumber: 123rf

Customer experience (CX) kini menjadi sebuah fungsi yang cukup tenar di kalangan pemasar, namun sayangnya, tidak semua orang bisa menggarap fungsi atau profesi tersebut. Namun ada tips membangun CX yang dapat diaplikasikan untuk membentuk kebiasaan pelanggan. 

Ignatius Untung, Pakar Marketing dan Behavioral Science dalam Program Market Think di kanal Youtube Marketers TV mencoba mengulik lebih dalam mengenai profesi tersebut. 

Menurut Untung, customer experience muncul karena bisnis membuktikan bahwa purchase decision konsumen tidak bisa berhenti pada tahapan awareness saja.

“Produk yang bagus dan kompetitif, harga yang designable, iklan menarik, seringkali juga tidak berhasil untuk bikin orang membeli. Ternyata yang kurang, CX (customer experience) itu sendiri,” ujar Untung.

Hal ini berkaitan dengan bagaimana caranya pemasar dapat memastikan customer journey konsumen yang jauh lebih seamless agar pembelian meningkat. Meski tampaknya sepele, namun pengaruhnya tak bisa dianggap sebelah mata.

Tujuan dari mendesain customer experience ini beragam, mulai dari mendorong pembelian, mengajak orang untuk membeli produk yang lebih mahal dan jumlah besar. Dalam konteks positif, CX juga ditujukan untuk menghindari orang agar tidak konsumtif dan kecanduan.

“CX tertentu ketika sudah menjadi kebiasaan bisa jadi entry barriers atau switching barriers, bikin orang berpikir dua kali untuk pindah ke brand lain,” jelas Untung.

BACA JUGA: Omnichannel Marketing, Demi Customer Experience yang Powerful

Sebagai contoh adalah kasus Nokia yang dulu sudah jadi kebiasaan mayoritas orang dibanding merek ponsel lain, seperti Sony Ericsson dan Motorola. Contoh lain ketika seseorang telah terbiasa menggunakan Windows atau Android, tetapi harus pindah ke Mac atau IOS.

Inilah yang disebut customer experience berwujud kebiasaan. Hal ini juga diadaptasi oleh online travel agent yang mungkin sudah didominasi oleh dua pemain.

Ketika ada pemain baru yang ingin masuk, maka pemain baru tersebut perlu beradaptasi dengan membangun customer experience yang mirip atau mendekati incumbent. 

Dengan begitu, konsumen akan tidak terhambat dengan perbedaan customer experience yang ditampilkan pada laman dari online travel agent yang baru. 

“Secara prinsip, customer experience tidak boleh bertentangan dengan program dasar otak manusia, sick pleasure, avoid pain, conserve energy,” tuturnya.

Ketika CX bertentangan dengan ketiga prinsip tersebut, maka CX tidak akan bisa menjadi sebuah kebiasaan, kecuali dipaksa. Untung menyebut jika suatu saat paksaan tersebut hilang, maka orang akan kembali ke kebiasaan lama.

Sebagai contoh, saat pandemi semua orang wajib menggunakan masker. Apakah semua orang nyaman seperti itu? Jawabannya tentu tidak. Tetapi hal tersebut diikuti karena ada ancaman atau paksaan, meski di sisi lain ada plessure dimana kita terhindar dari ancaman terkena virus. 

Begitu pandemi usai, apa yang terjadi? Orang akan kembali ke kebiasaan awal sebelum masker menjadi sebuah keharusan. Ditambah kondisi pandemi yang dianggap telah usai. 

Berkiblat dari macro conversions CX sebuah games

Salah satu penerapan customer experience yang begitu baik ada pada aplikasi games. Biasanya video iklan games muncul ketika kita menggunakan aplikasi tertentu di mana games melakukan demo untuk mengedukasi cara memainkan game tersebut.

Dengan memancing daya pikir penonton, game bisa membuat penonton penasaran untuk meng-install dan mencoba memainkannya dengan mengunduh aplikasi game tersebut.

BACA JUGA: Ternyata Begini Desain Customer Experience di Supermarket!

Game juga punya mekanisme untuk mengundang orang agar bermain, lagi, dan lagi. Mendorong orang untuk bermain lagi disebut macro conversions yang hanya dapat terjadi jika ada micro conversions dengan membuka aplikasi tersebut. 

Untuk memacu orang agar melakukan macro conversions ini butuh adanya trigger, seperti notifikasi atau bahkan yang lebih bagus bisa mendorong orang bermain tanpa perlu notifikasi.

Contoh adalah game Angry Birds yang memberikan reward atau punishment melalui gamifikasi, misalnya pemain diwajibkan untuk memberikan makan burung setiap sehari sekali agar dapat bertahan dan jika dilakukan pemain akan mendapatkan bonus.

Hal kecil tersebut menjadi trik dari aplikasi games tersebut agar pemain melakukan daily check-in yang lebih mendekatkan pemain untuk tidak sekadar memberi makan burungnya, tetapi juga bermain dan menikmati experience-nya.

“Kenapa CX ini pintar? Karena CX ini mendorong orang untuk membentuk kebiasaan, bukan cuma sesekali. CX ini tidak untuk kepentingan komersial saja, tetapi juga membantu konsumen melakukan sesuatu yang baik untuk keselamatan mereka,” ujar Untung.

Untung mencontohkan satu merek yang membuat orang agar tidak ketagihan, yaitu Xbox milik Microsoft, pesaing dari Playstation. Microsoft begitu menyadari bahwa permainan yang dibuatnya bisa mendorong orang menjadi candu, meski tak dimungkiri hal ini malah menguntungkan bagi perusahaan.

Dengan begitu, XBox membuat fitur reminder setiap beberapa periode waktu untuk beristirahat atau melakukan aktivitas lain, meski kontrol kuat tetap ada di pengguna. Namun, Xbox telah mengambil perannya untuk mengingatkan.

BMW juga demikian, memberikan pengingat ketika penggunanya menyetir dalam waktu lama selama tiga jam nonstop. Mobil BMW jelas tidak ada masalah jika penggunanya menyetir terus-terusan, namun dengan fitur yang dihadirkan menunjukkan bagaimana BMW berusaha untuk peduli pada kesehatan dan keselamatan dari pengguna.

Dua contoh di atas menjadi wujud bagaimana customer experience berusaha untuk membangun kebiasaan positif dari para penggunanya ketika mereka menggunakan sesuatu yang begitu engaging dan menyenangkan, sehingga berada dalam kondisi tidak sadar. Fitur pengingat menjadi sebuah pemantik untuk mendorong otak sadar agar melakukan hal yang benar. 

Lalu, sebenarnya apa yang dibutuhkan agar kita dapat mendesain CX yang baik?

“Modal utama untuk bisa mendesain CX yang baik adalah pemahaman terhadap konsumen secara baik, bukan cuma di kulit doang, tetapi secara psikologis, sosiologis, dan emosional. Dan di sini, ilmu behavioral science dibutuhkan, supaya kita mengerti apa yang dilakukan dan akan dilakukan oleh konsumen pada situasi tertentu. Selanjutnya, kreativitas dibutuhkan untuk mendesain intervensi yang menarik dan berdampak, sehingga tujuan yang diharapkan bisa tercapai,” imbuh Untung.

Tentu, membangun CX yang mumpuni tidak lepas dari Operational Excellence (OpEx) agar proses yang dibangun dapat berjalan dengan utuh. Untuk itu, MarkPlus Conference 2024 menghadirkan sesi penuh insight bertajuk Re-Imagining Operational Excellence.

Dalami kemampuan Anda dalam merancang CX dan OpEx dengan menyaksikan sesi tersebut hanya MPC 2024 yang digelar secara offline pada 6-7 Desember 2023 di The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place. Dapatkan tiketnya sekarang di sini.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

BACA JUGA: Demi CX, Bank Jago Lakukan Open Innovation Bersama ADVANCE.AI

Related