Di tengah perubahan tren yang serbacepat, banyak brand berlomba mengikuti arus demi menjaga eksistensi. Namun, pertanyaannya: sampai sejauh mana mereka harus mengikuti pasar tanpa kehilangan jati dirinya?
Inilah dilema klasik antara kebutuhan pasar (market-driven) dan identitas merek (brand DNA). Di satu sisi, brand perlu adaptif agar tetap relevan.
Di sisi lain, terlalu fleksibel justru bisa mengaburkan karakter yang membedakannya dari kompetitor. Menurut Rudolf Tjandra, CEO & President Director Kalbe Nutritionals, yang telah berkecimpung lebih dari tiga dekade di industri fast moving consumer goods (FMCG), keseimbangan antara keduanya adalah kunci.
“Brand harus punya DNA yang kuat, tapi jangan sampai jadi kaku. Di sisi lain, Anda juga tidak bisa hanya ikut arus tren tanpa arah,” ujar Rudolf saat ditemui oleh Marketeers beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: 7 Tips Membangun Brand Attraction dengan DNA Brand yang Kuat
Bagi Rudolf, DNA sebuah brand adalah identitas yang harus dijaga. Namun, cara menyampaikannya harus mengikuti perubahan perilaku konsumen, terutama Gen Z yang sangat responsif terhadap narasi emosional, nilai, dan teknologi.
“Yang dicari Gen Z bukan hanya produk, namun juga koneksi. Brand yang bisa membangun cerita dan pengalaman, itu yang akan mereka ingat,” ujarnya.
Sasa menjadi contoh menarik dari bagaimana sebuah brand mempertahankan DNA-nya, sambil tetap relevan. Produk mereka memang seputar bumbu, santan, dan penyedap rasa.
Namun, mereka tidak hanya sekadar menjual hanya produk. Mereka menjual makna di balik aktivitas memasak dan makan, seperti yang diungkapkan oleh Rudolf yang juga pernah memimpin Sasa selama lima tahun.
BACA JUGA: Pentingnya Brand Architecture untuk Konsistensi Identitas Merek
Bagi Sasa, memasak bukan semata soal dapur, tetapi juga soal menciptakan momen kebersamaan. Entah itu lewat ibu yang ingin membahagiakan keluarganya, atau keluarga yang ingin menikmati waktu berkualitas lewat hidangan rumahan.
“Dengan tetap setia pada DNA-nya sebagai ahli rasa, Sasa membungkusnya dengan cerita yang relevan, yakni tentang keluarga, kebersamaan, dan nilai emosional yang kuat. Di sini Sasa tidak sekadar bicara soal produk, tetapi juga tentang gaya hidup dan aspirasi konsumen,” kata Rudolf.
Oleh karena itu, strategi pemasaran yang berhasil bukan hanya yang mengikuti tren, tetapi yang mampu menerjemahkan DNA brand ke dalam cerita yang relevan. Seperti kata Rudolf, “Brand sukses bukan hanya yang bisa menjual, tetapi yang mampu menciptakan dampak dan makna dalam kehidupan konsumen.”
Editor: Ranto Rajagukguk